Arsip Blog

MENGHAMPIRI MARX LEWAT PINTU MANIFESTO KOMUNIS

MENGHAMPIRI MARX LEWAT PINTU MANIFESTO KOMUNIS
Oleh, Aceng Ruhendi Saifullah/ Program Linguistik

Manifesto ini merupakan pernyataan sikap kelas proletar terhadap penghisapan kaum Borjuis dalam bentuk sebuah partai. Garis-garis besar Marx yang tidak disertai penjelasan yang cukup dalam Manifesto membuat Marxisme-Komunisme terkesan dogmatis-idealis. Ke-dogmatis-an inilah yang membuat mandeg-nya banyak perlawanan atas kapitalisme. Perumusan Marx ini ternyata membuatnya mengingkari filsafat yang menjadi dasar pemikirannya. Dengan memahami Manifesto dari sudut bukan sebagai teori kritis, maka mandegnya Marxisme dapat diatasi. Dan dengan begitu kereta dialektika menuju mimpi Marx dapat melaju lagi yang di dalamnya telah terlihat usaha-usaha dari pemikir-pemikir Marxist ‘terbuka’ seperti Althusser, Gramsci, Habermas, Foucault, dll.
Marx dan Communist Manifesto ibarat dua sisi mata uang dari mata uang yang sama. Demikian melekat. Tak terpisahkan. Keduanya lahir dari hiruk pikuk bentangan sejarah abad-19. Seperti diketahui, Karl Marx hidup dalam rentang tahun 1818-1883 dan Communist Manifesto diterbitkan pertama kali pada tahun 1888. Buku ini ditulis oleh Karl Marx dengan bantuan Friedrich Engels setelah beberapa kali mereka berdua menerbitkan beberapa buku sebelumnya. Manifesto ini pada dasarnya adalah kumpulan atau kesimpulan dari buku-buku terdahulu dari Marx dan Engels yang bersifat lebih filosofis. Beberapa buku yang ide-idenya dicuplik dan digabungkan dalam Manifesto ini antara lain; Das Capital, Manuscript of 1844, The origin of the Family,Private Property and the State, dll.
Manifesto seyogyanya berarti pernyataan dan memang begitu adanya karya Marx dan Engels ini. Penjelasan mendalam dan filosofis dari menifesto ini seperti sudah dicantumkan diatas berada di buku-buku yang telah keluar terlebih dahulu. Dalam versi yang lain, buku ini diberi judul, yang lebih menjelaskan sifat buku ini, yaitu, Manifesto of the Communist Party. Dengan judul ini, para pembaca dengan mudah mengenali bahwa sebenarnya buku ini merupakan pernyataan politis atas pemikiran-pemikiran Marx dan Engels. Pernyataan yang diharapkan mampu diejawantahkan sebagai pernyataan politis oleh kelas pekerja (yang diharapkan dengan segera menjadi partai pekerja). Ya, walaupun judul buku ini menggunakan lema party, namun sebenarnya saat itu belum terbentuk partai yang secara ideologis berdasar pada komunisme ala Marx. Partai kelas pekerja saat itu masih berupa wacana yang oleh Marx coba untuk diwujudkan secara nyata dan manifesto ini adalah bagian dari kampanyenya. Itulah kenapa, sifat dari Manifesto lebih mengarah ke bentuk ajakan untuk menyatakan dan memperkenalkan ide-ide keseluruhan komunisme. Sehingga, butir-butir penting yang menjadi titik berat Komunisme pun dirangkum dalam manifesto ini. Inilah yang menjadi taji sekaligus nantinya menjadi batu sandungan atas paham Komunisme.

Sebelum melangkah lebih jauh kedalam lorong-lorong gelap nan sempit analisa atas cara penyajian Marx dalam Manifesto, marilah kita uraikan dulu ide-ide yang dicuplik ke dalam surat pernyataan kelas Proletar ini. Ide pertama adalah pembagian antara siapa yang masuk kedalam kelas proletar dan borjuis. Ide ini terangkum pada bab pertama manifesto ini. Marx merasa bahwa sejarah dunia ini dibangun diatas perjuangan kelas Proletar atas penghisapan kelas Borjuis. Kemudian, Marx merumuskan bahwa kelas Proletar adalah para pekerja dalam bidang industry dan kelas Borjuis adalah para pemilik modal dari industri-industri tersebut. Sedangkan, petani termasuk dalam sebuah kelas yang disebut Marx sebagai lumpen-proletar. Dikotomi ini ditarik dari buku Marx Manuscript of 1844 (juga dikenal dengan Manuskrip Paris). Konsep alienasi dalam Manuscript of 1844 lah dijadikan dasar pembagian ketiga kelas tersebut. Para petani dianggap Marx tidak mengalami alienasi seperti para pekerja maka mereka harus dirumuskan pada kelas yang berbeda pula. Dengan rumusan itu Marx memang menekankan bahwa ujung tombak perjuangan kelas ada di kepal tangan kiri para pekerja pabrik dan bukan di petani. Setelah sosialisme tercapai, Marx berpendapat, bahwa kelas lumpen-proletar ini dengan sendirinya akan melebur.

Ide lain yang diambil adalah cara pandang atas keluarga dari para pekerja. Dalam bab kedua, Marx menyatakan bahwa kaum Borjuis menganggap bahwa anak dan istri sebagai alat produksi permanen (mereduksi hubungan menjadi hubungan produksi semata). Sebaliknya, dalam pandangannya bahwa kelas Proletar menganggap anak istri mereka tidak sebagai alat namun anggota satu kelas dengan kesetaraan mutlak. Pandangan tersebut dicuplik dari buku Anthropologi karya Engels, The Origin of the Family, Private Propety and the State, yang merunut asal muasal sistem patriakal serta hubungannya dengan perkembangan hubungan-hubungan produksi.

Ide ketiga dicuplik dari tiga volume dari Das Capital. Ide ini dalam manifesto menggambarkan perkembangan dan pergerakan kaum Borjuis dari segi corak produksinya. Dalam bagian ini, Marx mencoba memaparkan bagaimana sebnarnya modal dan perangkat-perangkat produksi beserta dengan tenaga kerja terus diolah oleh kaum Borjuis. Marx juga memaparkan kebiasaan dan tingkah laku kaum Borjuis yang secara tersirat disebut Marx akibat dari sistem yang mereka ciptakan sendiri. Pemaparan Marx ini, dalam pandangan saya, sebuah usaha untuk memperjelas kelas dan apa yang harus diperjuangkan oleh kelas yang tertindas. Dengan bekal pemaparan diatas, Marx merumuskan sepuluh butir perjuangan kelas pekerja. Sepuluh butir ini yang tampaknya ia ingin ajukan sebagai tuntutan dan tujuan perjuangan kelas pekerja.
Sepuluh butir tersebut:
1. Hapuskan kepemilikan atas tanah dan kemudian diarahkan untuk kepentingan bersama.
2.Memasang system pajak meningkat untuk pemasukan.
3.Hapuskan segala bentuk sistem warisan.
4. Ambil alih semua kepemilikan pribadi para pedagang pendatang.
5. Pemusatan kredit di tangan Negara dengan menggunakan Bank nasional yang mengolah modal Negara dengan hak eksklusif monopoli.
6. Pemusatan segala perangkat komunikasi dan perhubungan di tangan Negara
7. Perluas pabrik dan perangkat produksi dengan kepemilikan Negara, serta perbaikan tanah secara terus menerus.
8. Tanggung jawab yang sama rata dan pendirian pekerja industri terutama di wilayah pertanian.
9. Penggabungan antara pertanian dan industri yang diikuti dengan penghapusan pembedaan anthrax kota dan desa. Pembedaan dilakukan dengan penyebaraan populasi yang merata di seluruh wilayah Negara.
10. Pendidikan gratis untuk anak-anak disekolah-sekolah negeri serta menghapus sistem penggunaan anak sebagai pekerja pabrik.

Setelah menelaah ide-ide apa saja yang terkandung di Manifesto, sekarang mari kita lihat dampak-dampak atas adanya buku dengan menempatkannya dalam kondisi Marxsisme modern. Dapat disimpulkan, bahwa manifesto ini merupakan pernyataan sikap kelas proletar terhadap penghisapan kaum Borjuis dalam bentuk sebuah partai. Marx telah menggoreskan garis-garis perlawanan lengkap dengan latar belakang yang dibarengi dengan tuntutan dan tujuan dalam karyanya yang telah diterjemahkan dalam lebih dari dua puluh bahasa. Inilah yang saya sebut kekuataan sekaligus titik lemahnya. Garis-garis yang dengan tebal telah digoreskan Marx ini telah memberi kesempatan semua kelas pekerja bersatu dalam ranah kepartaian dan serikat pekerja dengan memberi mereka alasan dan tujuan atas perjuangan kelas. Dan hingga kini hal tersebut terbukti ampuh. Kekuataan ber-ideologi Marxis non-negara seperti Indo-Marxist, In Defense of Marxism, Democracy Now, dll terus bermunculan dan berkembang dengan sejumlah pergerakannya dengan dasar-dasar yang diletakkan Marx lebih dari seratus tahun yang lalu. Dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, semakin banyak Negara yang mulai memutar setirnya ke kiri dan mengikuti Kuba untuk segera berjalan dijejak-jejak Marx (khususnya Amerika Latin), contohnya: Venezuela dengan gerakan Bolivarian-nya, Mexico dengan Zapatistanya, nikaragua dengan Sandinista-nya dll.
Kelebihan garis-garis pemikiran Marx ini ternyata diikuti juga dengan serangkaian dampak buruk yang menghambat perjuangan yang diharapkan Marx dalam masyarakat yang lebih berkembang. Sebuah masyarakat, yang menurut banyak pemikir setelah Marx, diluar perkiraan Marx. Sebuah masyarakat yang menghadapi kapitalisme lanjut yang memiliki bentuk berbeda-beda di setiap wilayah. Garis-garis besar Marx yang tidak disertai penjelasan yang cukup dalam Manifesto (ditambah lagi tujuan-tujuan yang sudah ditanam Marx) membuat Marxisme-Komunisme terkesan dogmatis (idealis). Ke-dogmatis-an inilah yang membuat mandeg-nya banyak perlawanan atas kapitalisme. Konsep proletar dan borjuis dengan pendasaran Marx terus dibawa, sedangkan pendasaran tersebut sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan dengan begitu ketatnya (seperti keinginan Marx). Beberapa usaha telah dilakukan oleh pemikir Marxist untuk ‘membuka’ kembali gerbang perlawanan dengan lebih lebar (terutama dengan membongkar butir-butir tujuan dalam Manifesto). Namun, butir-butir tersebut telah menciptakan ke-mandeg-an tujuan dari Marxisme yang sesungguhnya. Karena, butir-butir tersebut dibentuk untuk disetujui bersama dan dilakukan bersama, maka sebetulnya hal itu mematikan dialektika yang belum menemui sinthesis-nya. Butir-butir ini memaksa untuk menghentikan laju adaptasi-adaptasi disetiap wilayah yang berbeda proses dialektika materialis-nya. Perumusan Marx ini ternyata membuatnya mengingkari filsafat yang menjadi dasar pemikirannya. Salah satu cara menghindari penghentian dialektika terlalu dini adalah dengan menghindari pembacaan manifesto ini dengan meletakkannya sebagai buku teori kritis namun sebagai dokumen sejarah bagian dari dialektika yang sudah menemui anti-thesis-nya. Berbeda memang cara memperlakukannya dengan karya-karya Marx yang lain karena Manifesto memiliki sifat memaksa yang lebih karena hanya merupakan ujung-ujung ide yang ‘dipaksakan’ untuk disepakati dan dilakukan bersama saat itu.
Dengan memahami Manifesto dari sudut bukan sebagai teori kritis, maka mandegnya Marxisme dapat diatasi. Dan dengan begitu kereta dialektika menuju mimpi Marx dapat melaju lagi yang didalamnya telah terlihat usaha-usaha dari pemikir-pemikir Marxist ‘terbuka’ seperti Althusser, Gramsci, Habermas, Foucault dll.
Kadungora, 5 November 2009